NRA.MPL.10.576.0384.JGR Kambuna 2012

Friday 15 January 2016

Kisah Sepasang Suami-Istri 'Pejuang' Pulau Cangke


gambar pulau cangkeh dari atas udara menggunakan camera Go Pro
Indonesia begitu kaya dengan keindahan lautnya dan beserta deretan pulau-pulaunya, selain kekayaan ikan juga terumbu karangnya yang dapat memukau mata.

Salah satunya ialah pulau Cangke yang berlokasi di Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Pulau itu dijaga oleh dua insan penyandang tuna netra.

Hal ini bermula ketika pengabdian yang tulus tanpa pamrih hingga kisah cinta abadi dua anak manusia. Sejak 40 tahun silam, Pulau Cangke hanya onggokan daratan tak berpenghuni di tengah-tengah perairan lautan luas di kabupaten penghasil ikan bandeng itu (Pangkep). Pulau tak berpenghuni itu tandus. Tak ada satupun warga yang menghuni pulau seluas 10 kilometer persegi ini.

Hingga suatu ketika, sepasang suami istri bernama Daeng Abu dan Maida, datang dan mulai menghidupkan pulau. Kedatangan Abu dan Maida, bukan tanpa cerita tragis. Karena penyakit kusta yang diidapnya sejak kecil, Abu dan istrinya diasingkan oleh warga.

Bertahun-tahun mereka hidup berpindah. Daeng Abu yang juga buta akhirnya memilih meninggalkan daratan menggunakan perahu. Mereka akhirnya terdampar di Pulau Cangke yang berjarak 10 mil dari Kota Pangkep.

.
Daeng Abu bersama istrinya Daeng Midah
Melihat kondisi Pulau Cangke yang saat itu amat memprihatinkan, hati Abu terpanggil. Dia mulai menanaminya dengan pohon cemara laut dan berbagai tumbuhan lain.

Hasilnya, kini setelah 40 tahun, Pulau Cangke berubah menjadi satu pulau yang hijau. Bak hutan kecil di tengah laut.

Pulau ini menjadi salah satu ikon habitat penyu di Sulawesi Selatan. Bahkan berkat pengabdiannya terhadap Pulau Cangke, Abu pernah mendapatkan penghargaan dari Dompet Dhuafa, atas jasanya yang penuh dedikasi, mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk lingkungan.

Hewan dan manusia pun sekarang banyak yang memanfaatkan kerindangan pulau itu. Pulau itu kini menjadi tempat bertelur secara alamiah bagi penyu-penyu dan rumah bagi ribuan spesies burung. Meskipun tak mampu melihat, setiap hari Abu mengawasi semua tanaman di Pulau Cangke dan suka mengingatkan para nelayan yang singgah untuk menjaga kebersihan pulau.

Tak ada warga lain di sana, kecuali rimbunan semak belukar dan nyiur serta nyanyian ombak yang senantiasa mewarnai kehidupan sang penghuninya.


Tak hanya itu, kini pulau tersebut semakin sepi saat ditinggalkan ratusan ekor penyu yang kembali ke habitatnya karena musim bertelur telah usai, hanya dua bulan dalam setahun yakni pada pertengahan tahun.

Pulau yang merupakan kawasan konservasi penyu tersebut dijaga oleh sepasang suami istri tua yang hidup menyendiri di sana, namanya Daeng Abu dan Daeng Maida.

Foto penyelamatan dan pelestarian penyu / Sumber: https://www.instagram.com/mapala_umi/
Untuk menuju ke pulau ini, anda harus menyebrang menggunakan perahu motor dari dermaga Maccini Baji yang ada di Kabupaten Pangkep. Pulau Cangke merupakan pulau yang paling indah dari puluhan pulau yang ada di Kabupaten Pangkep.

Pada perayaan tahun baru di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, Polres Pangkajene dan Kepulauan Pangkep merayakan malam pergantian tahun 2015 di bawah dasar lautnya, tepatnya di wilayah perairan Pulau Cangke.

Kapolres Pangkajene Kepulauan (Pangkep) AKBP Moh Hidayat mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan selain untuk merayakan pergantian tahun 2015 ke 2016, juga sebagai upaya pencegahan kejahatan para pelaku bius dan bom ikan.

"Para kriminal itu biasa beraksi di malam hari karena dianggap lebih aman dan tidak terdeteksi petugas. Pulau cengke adalah pilihan terakhir untuk melaksanakan perayaan Underwater New Years 2016," ucap Hidayat.

Semangat kepedulian sepasang suami istri pelestari lingkungan di Pulau Cangke, Kab. Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan menjadi inspirasi bagi khalayak luas. Aksi keduanya setidaknya menjadi contoh di kabupaten dengan 80 persen wilayahnya berupa kepulauan tersebut.

Kondisi fisik yang sudah tua dan mengalami kebutaan tak menghentikan langkah Daeng Abu bersama sang istri tercinta untuk menjadikan pulaunya sebagai destinasi wisata dan surga bagi para pecinta diving yang dapat menjelajahi dasar lautnya itu.

Untuk mengapresiasinya, Kapolres Pangkajene Kepulauan (Pangkep), AKBP Moh. Hidayat, sampai menciptakan sebuah lagu khusus buat pasangan tersebut Daeng Abu dan istrinya Daeng Maida. Lagu itu berjudul Daeng Abu Berlabuh.

‎"Lagu itu menceritakan tentang kehidupan daeng Abu dan nenek Maida di pulau Cangke, Kab. Pangkajene Kepulauan,"kata Hidayat.

Berawal dari pulau yang tak berpenghuni akhirnya dengan keberadaan keduanya yang mengasingkan diri di pulau tersebut karena minder dari penyakit kusta yang diidapnya, maka dengan sendirinya berkat pasangan perjuangan ini, lama-kelamaan pulau itu menjadi destinasi wisata yang sangat cantik.

Hidayat pun mengutus sejumlah polisi dari Polres Pangkep yakni Ipda Farha, Bripda Widya, Bripda Syarif Al Qadri, Bripka Adianto Kurniawan, dan Aiptu Solotang. Mereka menghibur daeng Abu dan istrinya, sekaligus membuat video klip, beberapa bulan yang lalu.

"Kami datang untuk menghibur mereka yang hanya ditemani dermaga sepi di pulau tersebut. Yang menyentuh hati saya di mana daeng Abu adalah seorang kakek buta namun sang istri nenek Maida selalu setia menemani di saat suka dan duka," ujar Ipda Farha.

Berikut lirik lagu ciptaan Kapolres Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulsel AKBP Moh. Hidayat untuk Daeng Abu dan istrinya Daeng Maida.

"Daeng Abu Berlabuh"

Kutahu kau dari temanku
Tergerak hatii tuk menemui
Buta matamu kusta tubuhmu
Tak Pudarkan semangatmu

Dengan tongkatmu dampingi Maida setiamu
Sarung dan topi ciri khasmu
Sejauh pandangan keliling pulaumu
Benteng pasir putih jaga lautmu

Siapa peduli apa yang kau lakukan
Terbayang kau pergi punahlah habitatku
Anak penyuku temani dermaga sepimu
Membelai ombak yang selalu berderu

Reff:
Kudendangkan hanya untukmu
Pujian dan pujian karena hormatku
derai air mata mengalirlah sudah
Tangis dan tawa wujud haruku
Di Pulau Cangke-mu daeng Abu berlabuh

Kalian bangkitkan aku memanggilku selalu
Gelombang cinta membuatmu bertahan
Bukakan mataku tuk sadarkan aku
Abadilah cinta sejatimu

Melepas tukik anak penyu di Pulau Cangkeh oleh Kapolda Sulselbar Irjen Pudji Hartanto dan Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Bachtiar
Saat ini Pulau Cangke menjadi salah satu wilayah tempat penyu bertelur dan menjadi lokasi pengembangbiakan serta pelestarian penyu.

"‎Saya hanya dapat memberi imbauan kepada semua orang bahwa mari belajar dari apa yang telah dilakukan dua orang tua Daeng Abu dan Daeng Maida yang adalah orang yang cacat namun tahu tentang kelestarian lingkungan, masa kita yang normal dan sehat tidak bisa menjaganya," kata Hidayat.

Sebelumnya, Kapolda Sulselbar Irjen Pudji Hartanto dan Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Bachtiar juga pernah mengunjungi pulau ini sekaligus menjenguk 2 pejuang pelestari lingkungan itu, kunjungan mereka dalam rangka kegiatan bakti sosial.

"‎Dalam kegiatan itu Kapolda memberikan pengarahan yang mengapresiasi Polres Pangkajene dan Kepulauan bersama dengan Daeng Abu dan Ibu Maida dalam melestarikan penyu di Pulau Cangke," jelas Kepala Bidang Humas Polda Sulselbar, Kombes Frans Barung Mangera.

Menuju ke Pulau Cangke, kata Frans, Kapolda beserta rombongan berangkat dari Pelabuhan Maccini Baji, di Kabupaten Pangkep kemudian menggunakan dua buah speed boat dan dua buah perahu motor yang terbuat dari kayu ke pulau itu dengan waktu tempuh sejam-an lebih.

Setibanya di Pulau Cangke Kapolda Sulselbar memberikan bingkisan berupa sembako kepada Daeng Abu dan Ibu Maida, dilanjutkan dengan peninjauan penangkaran tukik. Mereka juga melepas 14 ekor tukik ke laut bebas kembali ke habitatnya.

.

Jika anda berada di Pulau Cangke, panas terik yang membakar terbayarkan sudah dengan pesona suasana pulaunya yang eksotis yang begitu menawan. Airnya membiru begitu jernih hingga cahaya matahari menembus terumbu karang yang ada didasar lautnya.

Bagi pencinta diving sangat cocok untuk mengunjungi pulau ini diakhir pekan anda untuk menjelajahi keindahan dasar lautnya, sekaligus mengenal lebih dekat pejuang pelestari lingkungan sepasangan suami istri itu di Pulau Cangke.

Sebagian Artikel :

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/07/02/122840-perjuangan-tak-kenal-lelah-tunanetra-penjaga-pulau-cangke

http://regional.liputan6.com/read/2348756/sepasang-kekasih-menjaga-pulau-terluar-hingga-menua-bersama

Saturday 23 May 2015

Air Terjun Dalam Hutan Desa Tabo-Tabo


Air Terjun di dalam hutan

Siang itu Jumat (16/05) terik matahari menyinari sekretariat (Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa) UPPM-UMI Makassar, tak banyak orang yang kelihatan seperti biasanya, mereka disibukan dengan perkuliahan. Arham, pengurus Bidang Satu UPPM-UMI, yang dari tadi kelihatan gelisah dan tidak sabarkan diri rasanya ia ingin segera tinggalkan sekretariat. Ia ingin mengikuti salah satu agenda kegiatan adventure yang menjadi program kerja di bidangnya.

Desa Tabo-Tabo adalah tempat tujuan perjalanan kegiatan adventure UPPM UMI kali ini, sebuah Desa yang terletak di lereng bukit kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan Sorepun mulai tiba ketika matahari seakan mulai meninggalkan siang yang terik itu, arah detak jam mulai menunjukan pukul 15.00 WITA. Ketika itu sekretariat mulai di padati oleh anggota UPPM-UMI, terlihat dari raut wajahnya begitu gembira seolah kicauan burung dikala senja.

Rico, yang diamanahkan sebagai ketua panitia, ia menampakkan wajah yang gelisah, ketika ditanya oleh seorang anggota UPPM UMI, “siapakah yang belum datang di secret, siapa yang kita tunggu,“ katanya dengan mata yang sayup. Rico menjawab, “ada beberapa orang yang belum menampakkan batang hidungnya,” jawabnya.

Beberapa orang dari mereka tidak sabarkan diri, mereka seprtinya ingin segera meninggalkan suasana hiruk pikuk kota yang menurut mereka membosankan. Perasaan kembali tenang ketika beberapa orang mulai menampakkan wajahnya yang letih di sekretariat, semua orang terlihat gembira, pertanda perjalanan segera akan dimulai. Susana yang tadinya hening dipecahkan oleh suara tawa beberapa orang.

Tiba-tiba suasana kembali hening seketika itu, salah seorang ditunjuk untuk memimpin doa yaitu Pemimpin Redaksi Cakrawala_IDE Herman Kambuna. Semua kelihatan khusyuk seraya berharap perjalanan mereka dilindungi oleh sang Pencipta. Jarum jam mulai menunjukan pukul 16.00 WITA pertanda perjalanan akan segera dimulai. Suara kendaraan pun mulai beriak bagai air terjun yang menerpa batu.

Perlahan mulai beranjak dari sekretariat UPPM-UMI menuju ke tempat tujuan, yaitu Kabupaten Pangkep. Ketika dalam perjalanan beberapa orang kelihatan sangat senang ketika mulai melihat panorama alam yang begitu indah di sekitar perjalanan memasuki Desa Tabo-Tabo, namun mereka sadar kalau perjalanan mereka masih jauh.

Kicauan burung memecah keheningan malam ketika sampai di tempat tujuan, perasaan seolah ditakutkan oleh suasana gelap yang menyelimuti desa itu, tampak seorang lelaki setenga baya menyapa kami dengan senyum dan ramah. Perasaan takut pun mulai legah ketika melihat sesosok laki-laki paru baya, dia itu adalah Pak Abbas yang dari tadi menunggu dengan sabar kedatangan kami.

Sebuah permadani pun disodorkan sebagai ungkapan untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Beberapa orang kelihatan mulai bergegas seraya menuju ke dapur untuk mengambil air wudhu. Ketika selesai shalat, rombongan mulai membaur dengan beberapa warga yang penasaran dengan kedatangan kami, yang katanya mahasiswa, peduli dengan masyarakat. Mereka sangat senang karena sebelumnya berapa orang juga pernah menginjakan kaki di tempat itu.

Pak Abbas mulai memperkenalkan dirinya dan beberapa warga lainya, dia sepertinya seorang yang dikagumi oleh banyak orang, tutur kata dan bahasanya seolah pakar ahli yang memimpin sidang. Meski ia tidak pernah menempuh pendidikan selayaknya seorang akedemisi. Guru yang paling baik adalah pengalaman, itulah kata-kata yang pantas untuk pak Abbas. Belajar dari pengalaman itulah membuat sosok paru baya itu berubah menjadi sosok yang memiliki pengetahuan yang luas.

Tabo-tabo adalah sebuah desa yang dulunya bemukim di puncak bukit, namun persoalan keamanan sehingga pemerintah memindahkan warga Desa Tabo-Tabo di lereng bukit. “Ada sebuah persoalan yang terjadi di dataran ini, peristiwa itu terjadi pada tahun 2006 silam, ini ditandai dengan bentuk perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dinas kehutanan yang membongkar pagar pembantas lahan dengan alasan ingin memperluas hutan Tabo-Tabo sebagai kawasan hutan lindung” kata pak Abbas dengan nada geram saat menjelaskan peritiwa itu.

Pak Abbas adalah salah seorang pejuang layaknya pahlawan yang mengusir penjajah, ia bersama warga, beberapa kali melakukan perlawanan untuk mengembalikan hak tanah warisan itu dari Dinas Kehutanan. Namun mereka sadar karena tidak memiliki ilmu yang cukup untuk melalukan perlawanan, sehinga timbullah inisiatif untuk meminta bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Harapan mereka mulai menemukan titik terang ketika LBH menghimpun kekutan warga yang di tandai dengan berdirinya ORBONTA (Organisasi Masyarakat Bonto Tangnga Tabo-Tabo). Mereka bersyukur karena berhasil mendapatkan kembali lahannya setelah berjuang bersama LBH Makassar dan Forum Study Isu-Isu Strategis (Fosis UMI) yang saat itu dipimpin oleh Kadir. Sebagian lahan mereka yang semula di garap, hingga sekarang kasus ini masih di tangani oleh LBH kata Pak Abbas yang juga sebagai ketua ORBONTA.

Warga desa Tabo-Tabo yang mengantar kami ke Air Terjun
Jarum jam mulai menunjukan pukul 20:OOWITA perasaan lapar seakan mulai hilang ketika kami dijamu makan malam oleh tuan rumah yang telah menyediakan alakadarnya. Begitu nikmat terasa ketika menikmati masakan tuan rumah, mereka kelihatan senang dengan kedatangan rombongan kami. Suasana seakan menjadi terang memecah keheningan malam.

Wajah pun kelihatan letih seakan tidak berdaya, perjalanan yang jauh telah mengantarkan tubuh ini di suasana malam untuk melepaskan lelah. Pagi tiba kicauan burung dan gemercik air seakan menyambut pagi yang indah, “suasana alami yang sukar untuk didapatkan,” kata Dhani yang berdiri tenang menyaksikan pemandangan alam itu.


Suasana senang ketika rombongan bergegas menuju ke lokasi wisata air terjun Tabo-tabo, dengan ditemani salah seorang warga setempat. Perlahan menuju ke lokasi itu, suasana keheningan mulai mencekam, ketika sampai di lokasi air terjun, entah kenapa perasaan takut mulai seakan hilang ketika disuguhkan oleh pemandangan air terjun yang begitu indah dengan  panorama alamnya, perasaan seakan mimpi di siang bolong.


Air terjun itu telah menjadikan perasaan ini seakan terlahir kembali oleh hiruk pikuk kota. Beberapa orang kelihatan tak sabar dan langsung menceburkan diri ke dalam genangan air itu, mereka sepertinya tak ingin melupakan momen ini, mereka mengabadikan lewat gambar sebagai kenangan Adventure.
Air Terjun yang alami mengalir dibatu yang berlumut

Perasaan letih dan lapar seakan terbantahkan oleh air terjun itu kata Isnan salah seorang anggota UPPM-UMI yang mengaku sangat gembira dengan indahnya ciptaan yang Kuasa itu. Haripun mulai siang ketika salah seorang mulai memanggil, ia adalah Herman, Koordinator Lapangan kegiatan adventure. Ia juga tampak kelihatan basah kuyup seraya mengumpulkan rombongan untuk segera pulang.

Rasa betah seakan memberatkan untuk menghantarkan kepergian ini, namun tersadarkan oleh agenda waktu sudah dibatasi kata Wahyu salah seorang panitia adventure. Itulah perjalanan singkat ke desa Tabo-Tabo yang menjadikan pembelajaran tentang realitas kehidupan masyarakat pedesaan yang bagi kami sangat berarti.

Untuk warga Tabo-Tabo terimakasi atas segala bentuk bantuannya, kami tidak bisa memberikan semuanya tapi kami mencoba untuk memberikan semuanya. Kami tidak bisa mengingat semuanya tapi kami mencoba untuk mengingat semuanya. Disetiap sujudku berharap akan ada pertemuan selanjutnya. Mudah-mudahan selalu diberikan iman dan kesehatan oleh Yang Maha Kuasa.

Sumber: Cakrawala IDE

Tuesday 31 March 2015

Keindahan Semburat Jingga di Langit Petang Lompobattang


Semburat jingga terlihat di tempat camp
Pendakian kali ini saya akan melintasi berjalan di atas punggungan Puncak Bawakaraeng menuju ke Puncak Lompobattang, bersama dengan adik-adik angkatanku dari Mapala UMI Makassar, yang ikut antara lain Ahmad Mubarak angkatan GST, Rizal Anwar (Mayor Ibo) dan Suprianto Lahabato (Cuplis) angkatan RBH. Pendakian ini mengantar tamu dari Manado, teman kami itu bernama Rivanz anggota dari Mapala Tarsius Politeknik Manado. 17 Maret kami berangkat dari Sekretariat.

Friday 15 August 2014

Catatan Kecil Waktu Muncak di Akhir Lebaran

Kami berempat baru bangun dari tidur yang lelap setelah melakukan perjalanan yang melelahkan dari Makassar menuju Kabupaten Enrekang, Rabu (30/07/2014). Tiba di Kabupaten Enrekang pukul 00.00 WITA, malam. Kami nginap di rumah Hendrik. Saya, Jaya, Mustafid dan Brutus berangkat dari Makassar menggunakan sepeda motor.

Saya, Jaya, Mutafid dan Brutus rencananya akan melakukan pendakian Gunung Latimojong. Mengisi liburan akhir lebaran. Hendrik juga ikut. Kali ini saya bersama empat adik angkatanku dari Mapala UMI itu, akan melakukan pendakian di puncak tertinggi Pulau Sulawesi (Puncak Rante Mario) mengisi liburan akhir lebaran.

Masih di rumah Hendrik, suasana pagi cuacanya cerah dan indah, udaranya terasa sejuk. Rumah Hendrik berada di desa Sossok Kelurahan Mataran, yang dikelilingi oleh pegunungan. Sembari menikmati udara yang sejuk dipagi itu, Mustafid membuat teh hangat untuk diminum sekedar menghangatkan tubuh yang kedinginan.

Saya mengambil posisi duduk yang lebih nyaman agar bisa menikmati teh buatan Mustafid sambil memandangi pemandangan yang indah. Dari atas lantai 3 rumah Hendrik, saya duduk memandangi indahnya pegunungan yang hijau. Di rumah Hendrik, kami bertemu dengan Landak dan Trambessi mereka dari Mapala Massemrempulu (Mapasse) Kabupaten Enrekang. Mereka rupanya ingin ikut dengan kami dalam pendakian ini. Jumlah kami bertambah menjadi 7 orang.

Pada pukul 11.00 Wita mulai packing untuk persiapan, menuju kaki Gunung Latimojong. Menuju kaki Gunung Latimojong kami menggunakan sepeda motor. Saya bersama Mustafid berboncengan menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter yang sudah diracing menjadi motor Trail.

Dalam perjalanan memasuki kaki Gunung Latimojong medannya sangat menantang. Jalan yang di lalui belum beraspal dengan tanah berwarna merah. Badan jalannya juga berdebuh ada juga yang becek dan licin. Medannya bervariasi, kadang landai, kadang terjal, terkadang kami juga harus ekstra berhati-hati ketika melawati tanjakan yang licin.

Kami pun tiba di rumah bapak Ambe Suhani. Ia adalah tokoh masyarakat di Dusun Anging-Angin, Desa Latimojong Kec. Batu sekaligus orang yang dituakan di daerahnya itu. Di rumahnya sering dijadikan Basecamp para pendaki yang hendak ingin melakukan pendakian ke Gunung Latimojong (Puncak Rante Mario).

Istirahat sejenak dirumah bapak Ambe Suhani sebelum memasuki jalur pendakian pos 1. Mengisi waktu istirahat di rumah sederhana itu sambil berbincang-bincang dengan Ambe Suhani mengenai kedaan dusunnnya dan juga orang-orang yang bermukim di sekitar tempat tinggalnya.

Siang itu Kamis pukul 14.12 WITA Istri bapak Ambe Suhani membuatkan kami makanan khas Palopo, yaitu Kapurung. Kami makan bersama dengan keluarga Bapak Ambe. Setelah makan kami-pun bergegas siap-siap untuk melakukan perjalanan. Hendrik yang juga orang asli Enrekang mengajak Bapak Ambe Suhani berbicara menggunakan Bahasa daerahnya. Ia sepertinya menanyakan jalur masuk ke pos 1.

* Pendakian melewati Jalur Angin-Angin

Memasuki jalur, kami ditemani oleh dua orang anak Bapak Ambe Suhani. Ia mengatar kami sampai di pos 1. Kami baru pertama kali melewati jalur Angin-Angin, kami juga tak membawa perlengkapan Navigasi. Biasanya kalau ingin ke puncak kami lewat jalur Dusun Bone-Bone atau di Dusun Karangan. Kami sengaja melewati jalur Dusun Angin-Angin agar menambah pengalaman baru. Mencoba hal-hal baru itu sangat menyenangkan. Dan juga menjadi pengalaman yang tak bisa dilupakan.

Tiba di pos 1, anak Bapak Ambe Suhani yang mengantar kami, berpesan kepada kami agar berahati-hati dalam pendakian. Ia hanya mengantar kami sampai di pos 1 saja. Keduanya pun pamitan kembali ke dusun. Pendakian dimulai setelah keduanya meniggalkan kami, Hendrik bertindak sebagai Leader dalam pendakian itu, yang lain mengikut dari belakang. Saya sendiri bertindak sebagai Swepper. Jalur yang kami lalui tak ada tanda-tanda atau-pun stringline di kiri kanan jalur. Hendrik terpaksa harus menggunakan instingnya dalam melewati jalur yang tidak jelsa itu.

Saya sengaja menyuruh Hendrik berada paling depan sebagai leader karena ia memiliki skill, fisik dan mental yang cukup lumayan bagus. Ia sudah terbiasa menggunakan isntingnya dalam melewati jalur yang baru. Walaupun ia itu hanya mengenyam dan mendalami ilmu Caving di Mapala UMI Makassar.

Menuju ke pos 2, kami melewati tanjakan yang ditumbuhi pohon-pohon yang memiliki akar besar. Terdapat sungai, airnya mengalir terdengar sangat jelas di sebelah kiri tanjakan. Tiba di pos 2 pukul 21.00 WITA malam. Kami bertujuh memutuskan untuk camp di situ. Selain sumber mata air-nya yang dekat, juga lahannya cukup luas untuk mendirikan camp. Brutus dan Hendrik turun ke sungai mengambil air. Sedang saya, Mustafid dan Jaya mendirikan camp. Landak dan Trambessi juga medirikan camp tempat mereka istirahat.

Saya, Mustafid, Jaya, dan Brutus bersama tidur dalam satu tenda. Sedangkan Hendrik bertiga dalam satu tenda bersama temannya Landak dan Trambessi. Jadi malam itu ada 2 tenda yang berdiri.

Brutus dan Hendrik tiba tempat camp dengan membawa Jerigen yang berisi air. Brutus langsung memasak air untuk membuat kopi. Sedang Mas (Mustafid) memasak nasi. Kopi buatan Brutus sudah jadi, kami meyeruput kopi bersama untuk menghangatkan tubuh kami yang kedinginan. Sembari menunggu masakan Mustafid, kami bertujuh mengevaluasi hasil perjalanan yang kami lalui tadi.

Masakan Mutafid sudah matang, siap santap nyamm,,nyam..nyam.. kami bertujuh makan malam bersama, duduk membentuk lingkaran beralaskan Matras. Tridisi yang sering diajarkan oleh senior-senior kami dari Mapala UMI Makassar. Setelah makan, kami mengatur barang-barang bawaan terus dirapikan agar tidak basah terkena air hujan ataupu gangguan dari binatang. Setelah itu kami bertujuh langsung masuk ke dalam tenda masing-masing untuk merebahakan tubuh yang lelah akibat pendakian.

Pagi tiba, Mutafid dan Hendrik lebih dulu bangun, Mutafid kembali memasak untuk makan pagi di bantu oleh Brutus. Pagi itu kami sengaja menyantap makan-makanan yang berat, karena perjalanan yang akan kami lalui membutuhkan tenaga yang super tangguh.

Perjalanan menuju pos 3 medannya masih menanjak. Hendrik berjalan paling depan disusul oleh Brutus. Kemudian Landak dan Trambessi. Lalu saya Mustafid dan Jaya. Ternyata medannya terbuka. Puncak Rante Mario terlihat jelas dari sini. Di tempat tebuka itu Hendrik dan Brutus memanfaatkan momen yang indah untuk berfoto bersama.

Kami tidak singgah di pos 3, kami-pun langsung jalan saja. Perjalanan melewati punggungan, jalur itu ternyata membawa kami ke jalur Bone-Bone. Saya langsung teringat ketika melewati jalur itu. Setahun lalu, saya pernah melakukan pendakian melewati jalur Bone-Bone bersama angkatan saya di Mapala UMI yaitu Alfian dan Rahmat Ipa.

Berjalan di atas punggungan yang medannya terbuka menambah semangat kami untuk berpetualang. Punggungan ini sangat panjang, rute yang dilalui mengatarkan hingga ke puncak Rante Mario. Saya berjalan paling depan, Brutus mengikut dari belakang. Yang lainnya masih jauh berada dibelakang. Tiba di ketinggian yang medannya terbuka saya dan Brutus istirahat menunggu teman-teman lain. Ketika semuanya tiba, perjalanan kembali dilanjutkan dengan jalan bersamaan.

Rencananya kami akan istirahat makan siang di pos 5. Makanya kami harus bersamaan melewati jalur pendakian agar bisa istirahat bersamaan juga. Menuju pos 5 jalurnya masih terbuka. Tiba di pos 5 Brutus ke sungai sebelah kana jalur untuk mengambil air untuk kebutuhan masak memasak. Yang lain istirahat. Saya sendiri mengumpulkan sisah-sisah sampah yang ditinggal oleh para pendaki. Saya membakar sampah yang sudah terkumpul itu. Tak lama kemudian Brutus kembali dengan air yang diambilnya dari sungai. Mustafid pun langsung mengambil air yang dibawa oleh brutus. Mustafid memasak nasi dan juga air hangat.

Pukul 13.12 WITA perjalanan dilanjutkan menuju pos 6. Perjalanan masih melewati jalur diatas punggungan yang panjang. Jaya berjalan paling depan, karena ia ingin sampai lebih dulu untuk bisa sampai di pos 6. Saya dan Brutus berdampingan jalan menyusul Jaya. Sedangkan Hendrik dan Mustafid serta kedua temannya dari Mappasse menyusul dari belakang.

Melanjutkan perjalanan menuju pos 7 masih berjalan di atas punggungan, Brutus berjalan di depan dan saya mengikutinya dari belakang. Di pos 7 terdapat sumber mata air, tapi sungainya merupakan sungai musiman.

Saya dan Brutus tiba di pos 7 pada pukul 16.32 WITA sore. Menunggu yang lainnya saya dan Brutus istirahat di pos 7. Melihat Jaya sudah tiba menghampiri, Saya langsung melanjutkan perjalanan menuju tempat Camp ke 2 bersama Brutus. Sebelum jalan saya menyuruh Jaya istirahat di pos 7 sembari menuggu kedatangan teman-teman lain yang masih sementara berjalan dibelakang.

Saya mulai jalan bersama Brutus dengan menaiki tanjakan yang tidak begitu terlalu curam. Perlahan-lahan meninggalkan Pos 7. Jalan atau jalur yang kulalui membawa kami di ketinggian 2000-an Mdpl. Tanjakan demi tanjakan kami lalui dengan hati-hati. Diantara tanjakan yang dilalui inilah tanjakan yang paling extreme dan medannya tertutup. Terkadang kita harus memperbaiki alur pernapasana akibat kelelahan melewati tanjakan itu. Hingga akhirnya kami tiba ditempat yang landai dan terbuka. Kabut tipis mulai kelihatan dan udaranya bertambah dingin. Ditempat yang terbuka itu saya bersama Brutus menunggu teman-teman yang lain.

Hendrik pun tiba lebih dulu dan langsung menghampiri saya, ia lalu bertanya kepada saya untuk mencari tempat camp. Memang waktu itu sudah menunjukkan sudah pukul 17.25 WITA. Sayapun langsung menyuruh Brutus untuk mencari lokasi tempat camp yang layak untuk mendirikan camp. Brutus langsung mencari dan saya bersama Hendrik menuggunya.

Teman teman yang masih dibelakan juga mulai tiba di tempat yang terbuka ini. Kami bersama sitirahat sambil menunggu kedatangan Brtus yang lagi mensurvei lokasi tempat camp. Brutus dari kejahuan meniupkan pluitnya sebagai kode bahwa ia telah menemukan lokasi camp. Sempritan dari Brutus itu kemudian dibalas oleh Hendrik dengan teriakan. " Bagaiamanaji Brutus, adami tempat camp kau dapat," teriak Hendrik. Brutus pun membalas teriakan hendrik dengan teriakan pula. "Iyye kak, ada saya dapat tempat camp," balas teriak Brutus.

Mendegar teriakan Brutus saya langsung jalan menghampiri Brutus, dan lansung menuju tempat camp. Brutus menunjukkan lokasi tempat camp itu kepada saya, denga begitu saya langsung jalan dan mencari lokasinya. Setelah itu Brutus memanggil teman-teman yang lain untuk ikut ke lokasi tempat camp yang sudah saya tuju. Semua tiba di tempat camp. Kami langsung membagi job masing-masing dalam mendirikan camp. Saya membuka Keril yang dibawa oleh Mutafid untuk mengambil tenda. Yang lain menyiapkan peralatan masak. Saya bersama Jaya mendirikan camp.
.
Lokasi Camp ke-2 tak jauh dari puncak
Mustafid bersama Brutus mengolah masakan untuk makan malam. Sedang Hendrik dan dua temannya mendirikan tendanya. Setelah semuanya beres kami ber-tujuh duduk didekat Mustafi yang sementara memasak air dan nasi. Tak tahan dingginnya dilokasi tempat camp itu, saya bersama yang lainnya berinisiatif untuk membuat perapian (api unggun) sekedar menghangatkan tubuh kami sekaligus membakar dan mengumpulkan sampah.

Keesokan paginya  semua bangun, Mustafid kembali mengolah makanan, Brutus dan Jaya mengambil kamera untuk mendokumentasikan lokasi tempat camp. Udara pagi itu terasa dingin sehingga saya harus kembali membuat perapian. Hendrik dan bersama kedua temannya juga mulai keluar dari tendanya. Jaya dan Brutus masih asik berfoto-foto dengan pemandangan indah. Pagi itu pemandangan puncak terbuka tanpak dari kejahuan kelihatan puncak Rante Mario. Kadang kalau kabut datang puncaknya kembali  tertutup.

Pukul 08.00 WITA kami mulai jalan menuju puncak gunung Latimojong dengan nama puncak Rante Mario. Hendrik dan Brutus lebih dulu berjalan memasuki jalan setapak menuju puncak. Saya bersama yang lainnya menyusulnya. Kami beriringan jalan. Jalur yang kami lalui masih agak sedikit landai. Dengan begitu langkah kaki kami dipercepat pula.

*****

Akhirnya untuk kedua kalinya saya menginjakkan kaki di puncak tertinggi Pulau Sulawesi (3305 Mdpl) bersama ke tiga adik angkatanku dari Mapala UMI serta dua teman baruku dari Mappase. Tiba di puncak kami berfoto bersama denga gaya masing-masing di terunggulasi puncak. Saya bersama adik-adikku berfoto bersama dipuncak dengan gaya seperti sebuah anak tangga di Terunggulasi. Tangga yang saya maksud disni ialah berfoto berurutan menurut angkatan. Angkatanku sendiri bernama Jagad Halilintar (JGR), kemudian Hedrik, Musfafid dan Jaya nama angkatannya bernama Gemah Semesta (GST), sedangkan Brutus adalah angkatan baru dengan nama angkatannya Riuh Bahana (RBH). Kebetulan selama dilapangan saya yang paling tua hahahaha. . .

..